Protes Masyarakat Rempang.

Nukila Evanty ; "Protes Masyarakat Rempang, Harusnya Menjadi Momentum Sebelum Berakhirnya Jabatan Presiden Jokowi".

Rabu, 22 Mei 2024 - 21:12:00 WIB Cetak

(Momenriau.com Kepri). Masyarakat Pulau Rempang terus bersuara menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah melakukan penggusuran/relokasi atas nama investasi. Gaung sikap tegas masyarakat Pulau Rempang ini, kembali dilakukan dalam bentuk kampanye pembentangan spanduk bertuliskan "Tolak Relokasi", di Perairan Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang pada hari Senin (20/05-2024).

Kegiatan yang silaksanakan oleh masyarakat yang berdomisili di Pulau Tempang ini, menandakan suatu bentuk kepedulian terhadap sejarah leluhur mereka, sehingg melahirkan semangat perjuangan masyarakat Pulau Rempang, dalam mempertahankan eksistensi baik budaya, sejarah leluhur serta ruang lingkup kehidupan mereka dan sepertinya akan terus ada dan menyala.
    Ketika dimintai komentar dan tanggannya, Nukila Evanty, selaku Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) berkata, "bahwa protes yang dilakukan masyarakat Rempang Galang pada 20 & 21 Mei 2024, terkait penolakan relokasi, harusnya menjadi momentum terakhir bagi Presiden Jokowi beserta jajarannya, untuk menunjukkan penghormatannya terhadap tanah milik leluhur masyarakat Rempang dan hak masyarakat adat tersebut yang sudah dijamin dalam Konstitusi RI. Bahkan lembaga seperti  Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah menemukan 4 pelanggaran mal-adminstrasi dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City (investigasi sejak September tahun 2023 )".
   Lebih lanjut Nukila Evanty memaparkan, "Ombudsman RI menyebutkan 4 temuan terhadap kasus Rempang 30 Januari 2024; diantaranya tidak adanya pengakuan keberadaan secara sah dan hukum Kampung Tua Pulau Rempang. Kemudian tidak optimalnya penetapan batas serta penerbitan sertifikat atas tanah bagi masyarakat Rempang. Pemerintah  dianggap inkonsisten melestarikan nilai-nilai sejarah, budaya serta perlindungan masyarakat Kampung Tua di Rempang sesuai Surat Keputusan Walikota Batam yang berbeda dengan  Peraturan Daerah Kota Batam No 3 tahun 2021, sehingga BP Batam berkewajiban menyelesaikan permasalahan sehingga objek menjadi clear and clean".
    "Kemudian, penetapan Rempang Eco-City sebagai PSN terjadi dalam waktu singkat (Mei-Juli 2023), hal ini menunjukkan bahwa percepatan pengembangan kawasan tersebut terburu-buru. Dan, penanganan dampak proyek PSN yang dilakukan oleh aparat penegak hukum malah  menimbulkan ketakutan, rasa tidak aman dan berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi dan atau aparatur pemerintah secara menyeluruh", tegas Nukila.
    "Ditambah, pemenuhan hak kepada masyarakat terdampak sebagaimana diatur oleh Perpres 78 Tahun 2023 hanya berupa santunan dan tidak menyebutkan ganti rugi, sehingga bertolak belakang dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kemudian juga Komnas HAM, juga telah menyebutkan adanya pelanggaran atas hak atas tempat tinggal yang layak dengan rencana relokasi di Rempang. Pemerintah kurang peka terhadap nasib masyarakat adat Rempang di Kampung tua atau Melayu Kuno, yaitu terhadap tempat tinggal nelayan pulau Rempang yang sudah bahagia hidup disana. Sehingga upaya relokasi ke lokasi baru, adalah mengabaikan dan melanggar hak atas rasa aman,  mencabut hak atas tempat tinggal yang layak", Nukila Evanty menjelaskan.
    Kemudian Nukila Evanty menambahkan,  "penggusuran paksa (forced eviction)  dalam hukum international, adalah pemindahan permanen atau sementara suatu kelompok masyarakat yang bertentangan dengan keinginan individu, keluarga dan/atau komunitas dari rumah dan/atau tanah yang mereka tempati, tanpa penyediaan dan akses terhadap, bentuk perlindungan hukum atau perlindungan lainnya yang sesuai dengan hukum. Akibat  penggusuran paksa, masyarakat seringkali kehilangan tempat tinggal dan melarat, tanpa sarana penghidupan dan seringkali tanpa akses yang efektif terhadap upaya hukum atau pemulihan lainnya".
    "Menurut hukum HAM Internasional, penggusuran paksa memperparah kesenjangan, konflik sosial, segregasi dan selalu berdampak pada kelompok masyarakat termiskin, paling rentan secara sosial dan ekonomi serta terpinggirkan, terutama perempuan, anak-anak, kelompok minoritas serta masyarakat adat. Penggusuran harus mematuhi hukum Hak Asasi Manusia, kewajiban Negara untuk menahan diri dan melindungi terhadap penggusuran paksa dari rumah dan tanah mereka serta pemerintah telah melanggar kesepakatan/perjanjian  dari beberapa Instrumen Hukum Internasional termasuk UDHR (Deklarasi HAM Internasional)  dan Kovenan HAM yang telah diratifikasi dan diundangkan dalam hukum nasional", Nukila Evanty mengakhiri.(Edysam).




Tulis Komentar +
Berita Terkait+
ƒ