Jika Pecah Perang di Laut Chna Selatan, Banyak Negara Berpotensi Terlibat Pertempuran

Senin, 06 Januari 2020 - 21:51:44 WIB Cetak

Momenriau.com- Pasang surut persoalan laut China Selatan sudah cukup panjang. Persoalan mendasar adalah karena para pihak merasa memiliki hak dan kedaulatan atas wilayah yang disengketakan. Ini tidak hanya melibatkan dua negara, tetapi melibatkan banyak negara karena wilayah yang diklaim oleh China ini sangat luas sekali. Artinya bukan hanya dengan Taiwan saja, tetapi juga dengan beberapa negara ASEAN, termasuk didalamnya dengan Indonesia karena menyangkut wilayah kepulauan Natuna.

Dalam sebuah kesempatan di sore hari yang cerah, Minggu(5/1) Pengamat Laut China Selatan Dede Farhan Aulawi di kediamannya bersedia menerima media untuk menanyakan beberapa hal terkait memanasnya situasi Laut China Selatan (LCS). Menurut pengamatan Dede, situasi di LCS saat ini memang sangat tidak kondusif. Akan tetapi dalam situasi yang panas ini ada baiknya kita selalu mengedepankan penyelesaian – penyelesaian persoalan dengan bijak, atau istilahnya soft approach. Selama ruang dialog dan advokasi diplomasi masih bisa dijalankan, mungkin perlu mengutamakan ini. Termasuk kemungkinan penyelesaian sengketa melalui jalur internasional. Akan tetapi jika semua ruang diplomasi sudah tertutup, maka pilihan terakhir melalui jalur perang mungkin tidak bisa dihindarkan. Indonesia tidak pernah mencari musuh, tetapi jika ada yang memerangi tentu wajib untuk dilawan. Latihan – latihan militer yang dilakukan di sebuah negara itu tujuannya adalah sama, untuk mengasah kesiapsiagaan jika terjadi perang. Kemungkinan perang memang kecil, tetapi jangan menegasikan kemungkinan timbulnya perang, karena saat kita menegasikan kemungkinan untuk itu, maka musuh akan melihat kita sebagai negara yang lemah. Tegas Dede.

“ Latihan militer angkatan, gabungan, bilateral, multilateral dan sebagainya pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan latihan kesiapan tempur, atau kesiapan konfrontatif. Untuk itulah segala sumber daya disiapkan untuk itu, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Bukan hanya orang tetapi juga alutsista dan penguasaan teknologinya “, ungkap Dede.

“ Kita ingat peristiwa saat kapal perusak Cina hampir bertabrakan dengan USS Decatur. Saat itu kapal AS melakukan “kebebasan operasi navigasi” dalam jarak 12 mil laut dari Kepulauan Spratly  yang sampai saat ini diklaim oleh China sebagai bagian dari kedaulatan wilayahnya. Sementara itu, AS tidak mengakui hak kedaulatan yang diklaim China tersebut, termasuk pulau buatan, seperti Mischief Reef “, tambah Dede.

Bahkan pertengahan 2019 Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) telah meningkatkan dan menjaga kemampuan pertahanan udara mereka melalui praktik Pengisian Bahan bakar dalam penerbangan. Latihan ini merupakan proses mentransfer bahan bakar penerbangan dari satu pesawat militer ke yang lain selama penerbangan di atas Laut China Selatan. Latihan ini ditampilkan pesawat A400M RMAF saat melakukan Air to Air Refueling dengan sejumlah Su-30MKM dalam mendukung operasi Malaysia Timur.

Di saat yang bersamaan pada saat itu, kapal induk AS Ronald Reagan juga hadir di Laut China Selatan dengan misi untuk membantu memberikan keamanan dan stabilitas yang mendorong pembicaraan diplomatik, dan menghindari kemungkinan adanya satu negara yang mendominasi wilayah Indo-Pasifik. Akhirnya secara teratur AS mengirimkan kapal militernya untuk melaksanakan apa yang disebut misi “kebebasan navigasi”. Namun, Beijing melihat dari sisi yang lain, dan menilai tindakan tersebut sebagai gerakan provokatif. Akhirnya China melakukan pembangunan atas Pulau Woody sebagai respon dan peringatan keras bahwa memperburuk situasi Laut China Selatan akan berhadapan vis-a-vis dengan Washington.

Menyikapi situasi tersebut, AS dan sekutunya seperti Inggris, Australia hingga Jepang terlibat dalam Operasi Kebebasan Navigasi (FONOPS) yang menantang langkah China. Sikap konkrit mereka ditunujukkan dengan cara mengirim kapal-kapal perangnya dan menolak klaim China atas LCS dan berlayar seolah-olah klaim China itu tidak ada.




Tulis Komentar +
Berita Terkait+
Internasional

Di Oxford, Menteri Yasonna bicara soal Human Dignity

Jumat, 28 Juli 2023
Internasional

Sam Smith juga kepikiran buat hidup normal

Senin, 09 November 2015
Internasional

Isu calon ketum selain Mega dinilai upaya memecah PDIP

Selasa, 07 April 2015
ƒ