Dampak Pengerukkan Pasir Laut.

Nukila Evanty : "Perempuan & Anak-Anak Paling Terdampak Dari Pengerukan Pasir & Usaha Ekstraktif Di Kepri".

Ahad, 11 Juni 2023 - 10:36:00 WIB Cetak

 (Momenriau.com Kepri). Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) atau lebih dikenal di dunia Internasional sebagai Indigenous People's Initiatives dan Direktur Eksekutif Women' Working Group (WWG) yaitu Nukila Evanty, ditengah kesibukannya karena akan menghadiri pertemuan Asia Peace Innovator program di Salzburg (Austria) pada 14 s/d 21 Juni 2023 mendatang, ketika awak media ini bertanya, secara lugas beliau mengungkapkan beberapa hal ; 

 - Awak media ; bagaimana menurut anda munculnya Peraturan Pemerintah (PP) No 26 / 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang baru-baru ini dikeluarkan ?.
  - Nukila ; "Tanjungpinang di Kepri bersama dengan daerah kepulauan lainnya di Riau,  adalah daerah bahari yang sebagian besar wilayahnya adalah laut dan mata pencaharian atau livelihood  penduduknya juga di laut termasuk potensi-potensi ekosistem dan wisata bahari. Saya lahir di Bagan Siapi-Api, Riau daerah yang dahulu kaya hasil ikan terbesar kedua di dunia merasa terkejut juga dengan hal itu. Saya  dengan regulasi tersebut, karena kan sudah banyak larangan sebelumnya berkaitan dengan penggalian pasir dan ekspor pasir laut. Coba kita telaah,  sebelumnya ada Permenperin No;117 tahun 2003 menegaskan tentang larangan ekspor pasir laut, tujuannya menghentikan kerusakan atas lingkungan dan pulau-pulau kecil serta mencegah ketidakjelasan batas-batas maritim laut. Kemudian sebelumnya, ada  Instruksi Presiden (Inpres) No.2 tahun 2002,  tentang Pengendalian penambangan pasir laut. Kemudian muncul  Keputusan Presiden (Keppres) No ;33 tahun 2002 tentang     Pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut yang merupakan dasar dari pembentukan Tim Pengendali dan pengawas pengusahaan pasir laut. Selanjutnya Menteri Kelautan dan Perikanan pun telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01/K-TP4L/VIII/2002 tentang Ketua tim pengendali dan pengawas pengusahaan pasir laut. Bahkan saat ini banyak perundang-undangan seperti UU No; 32tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup beserta PP No; 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, filosofinya UU ini mengatur manusia dan perilakunya dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan mempengaruhi alam itu sendiri, semuanya untuk kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain".
   - Awak media ; siapa menurut anda yang paling terdampak dari kebijakan tersebut ?.
  - Nukila ; "saya mulai dari data dulu ya,  saat ini menurut data pemerintah kota, jumlah nelayan Tanjungpinang tercatat 1519 orang, dengan berdasarkan dari data Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka) dengan asumsi masih banyak jumlah nelayan yang belum terdaftar dalam kategori nelayan rentan dan marjinal, termasuk nelayan-nelayan dari pulau luar  lainnya yang seasonal datang. Data tadi mencerminkan bahwa penduduk Tanjungpinang banyak yang menjadi nelayan dan mungkin juga ada yang masuk kategori petani pembudidaya laut. Mereka-mereka ini, karena pengaruh climate change, ombak yang tinggi, musim angin, dampak panjang dari pandemi COVID 19 kemarin, sudah mengalami berbagai kesulitan untuk menangkap ikan diperairan dekat mereka, bahkan harus melaut jauh hingga kabupaten terdekat atau pulau terdekat (Kepulauan Anambas atau Pulau  Nias) dan wilayah perbatasan. Banyak nelayan yang membutuhkan solar sebagai bahan bakar untuk melaut jauh. Penelitian saya dengan teman-teman alumni Australia yang disupport oleh DFAT tentang nelayan tradisional, mengungkap banyak hal yang dialami nelayan tradisional, termasuk perempuan nelayan sebagai breadwinner artinya sebagai tulang punggung keluarga,  perempuan sebagai ibu rumah tangga yang pada akhirnya, banyak diantara perempuan ini lebih memilih mengadu nasib kenegara seberang atau menjadi pekerja migran hanya untuk membantu ekonomi  keluarganya. Banyak anak nelayan yang putus sekolah karena misalnya kesulitan ekonomi dan jarak sekolah yang jauh. Disamping itu banyak nelayan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman untuk usaha mereka dari bank-bank. Alasannya, mereka  nelayan menghadapi birokrasi yang dianggap berbelit. Walaupun sudah ada UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, tetapi dilapangan masih sulit akses bagi nelayan dan pembudidaya bahkan untuk menawarkan harga hasil tangkapan ikannya yang diperoleh dengan susah payah di laut. Menyikapi PP No; 26/2023 tersebut, saya  mengutarakan bahwa apapun jenis penggalian, pengerukan terhadap pasir, di laut, terhadap sedimen dapat menimbulkan masalah pada akhirnya. Contoh paling sederhana adalah timbul kekeruhan air laut dari pengerukan dan berdampak pada tangkapan ikan, jika tak ada tangkapan ikan lagi, maka nelayan harus melaut jauh sehingga harus mempergunakan BBM cukup banyak, dan jikapun tidak dapat ikan pada hari itu, bagaimana nasib keluarga nelayan termasuk istri dan anak nelayan  yang menunggu dari hasil tangkapan ikan  untuk bekal membeli sembako mereka seperti beras dan kebutuhan sekolah anak-anak mereka".
   - Awak media ; jadi apa yang harus dilakukan ?.
   - Nukila Evanty; "Pemerintah pusat harus merenung, mengkaji kembali, sedangkan Pemerintah Daerah dan juga Anggota DPR dan DPD Dapil Propinsi Kepri, harus meneruskan suara masyarakat pesisir dan pendapat nelayan-nelayan terhadap PP No; 26/2023 itu. Pemerintah harus memikirkan  nasib  nelayan kecil, nelayan tradisional serta perempuan-perempuan nelayan. Apapun dalih pemerintah bahwa hal tersebut untuk kepentingan bangsa, hasilnya mendatangkan pendapatan daerah, untuk mengatasi masalah penumpukan sedimentasi yang telah mengakibatkan pendangkalan laut serta justifikasi pemerintah bahwa pasir laut yang dikeruk tersebut dan diekspor, adalah hanya dari sedimentasi, maka sebaiknya pemerintah  tidak bersifat saklek atau tetap nggak bergeming mendengar suara-suara masyarakat yang marjinal ini, apalagi jika memang ada dugaan permintaan pasir tersebut dari negara tetangga kita, maka  yang demikian harus dihentikan".
    Demikian Nukila mengakhiri tanya jawab dengan awak media kami di Propinsi Kepri pada Sabtu malam (10/06-2023) melalui chattingan WhatsApp.
 Dengan demikian, Pemerintah Pusat diharapkan menjadi "arif" dalam suatu kegiatan "pengerukkan pasir laut". Jangan sampai masyarakat "nelayan Indonesia" menganggap bahwa pengabil kebijakkan dinegara ini, adalah sebenarnya orang-orang "kejam alias tidak berprikemanusiaan" seperti yang tertuang pada teks "PANCA SILA" milik kita.(EDYSAM).




Tulis Komentar +
Berita Terkait+
ƒ