APKASINDO Desak KLHK Lebih Objektif Tentukan Batas Wilayah Negara dan Warga

Sabtu, 26 Oktober 2019 - 12:33:58 WIB Cetak

Ilustrasi

Momen Riau- Batas antara lahan milik masyarakat dengan area status kawasan hutan dinilai masih sering menimbulkan persoalan. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk objektif dalam menentukan batasan-batasan area milik masyarakat dengan negara.

Kepala Departemen Hukum dan Advokasi DPP Apkasindo Abdul Aziz menuturkan, persoalan hutan sudah diatur dalam Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hakikat kawasan hutan menurutnya, merupakan sehamparan tutupan hutan yang ditetapkan dan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan.

"Dan sudah jelas diatur dalam pasal 1 ayat 3 dalam UU 41 itu, disebutkan pula bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan oleh pemerintah. Lalu pada pasal 14 dan 15 disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan wajib dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum dan pengukuhan kawasan hutan itu dilakukan dalam empat tahapan," ujar Aziz kepada merdeka.com, Kamis (24/10).

 

Aziz menyebutkan, keempat tahapan itu adalah penunjukan, pemetaan, penataan batas serta penetapan. Penetapan batas ini dilakukan untuk memisahkan antara hak masyarakat dengan negara.

"Jadi hakikat penataan batas itu adalah apabila ditemukan hamparan yang mencirikan hak-hak masyarakat, musti di-enklave (dikeluarkan dari hak negara). Lalu hak negara musti dikasih patok atau dipagar. Itu aturan yang dibikin negara," ujar Aziz.

Aziz menilai, yang menjadi persoalan saat ini, justru hak-hak masyarakat yang sudah jelas dan bahkan sudah dikuasai berpuluh bahkan ratusan tahun, masih juga diklaim kawasan hutan.

"Di Riau banyak buktinya. Salah satunya ada sekitar sembilan desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu yang sampai saat ini ada di kawasan hutan. Belum lagi kebun-kebun petani dan lahan yang secara eksisting sudah tidak hutan, masih diklaim kawasan hutan. Ada enggak KLHK menjalankan aturan bahwa sekali lima tahun kawasan hutan harus diinventarisasi?" tanya Aziz.

Dari kenyataan itu, lanjutnya, ada dua hal yang janggal yang terjadi pada kawasan hutan yang diklaim oleh KLHK. Pertama, patut diduga kalau kawasan hutan itu masih penunjukan. "Berarti secara otomatis, ini belum mempunyai kekuatan hukum, sebab kawasan hutan harus dikukuhkan sesuai pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu," ucap Aziz.

Menurut Aziz, jika memang kawasan hutan itu sudah dikukuhkan tapi masih ada juga hak masyarakat di situ, berarti diduga ada yang tidak beres dengan penataan batas. "Bisa jadi cuma membuat tata batas di atas meja," ujar Aziz.

Aziz juga mengatakan, di satu sisi KLHK mestinya berterima kasih kepada masyarakat khususnya petani kelapa sawit yang sudah memproduksikan kawasan yang selama ini diklaim KLHK sebagai hutan produksi.

"Selama ini kawasan yang diklaim itu tidak produktif. Lalu oleh petani ditanami sawit. Tapi setelah kawasan itu produktif, justru masyarakat yang dipersalahkan. Dibilang menyerobot kawasan hutan," ujar Aziz.

Aziz mengisahkan, pada Rabu (23/10), dia mengikuti pertemuan lintas stakeholder di gedung Rimbawan 2 Gedung Menggala Wanabakti.

Di sana dibahas Penanganan sawit dalam kawasan hutan. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia yang hadir dalam acara itu menghamparkan data, ada sekitar 3,67 juta hektare kebun sawit di kawasan hutan, dari total luas kebun kelapa sawit di Indonesia yang sudah mencapai 16,8 juta hektare.

Sawit dalam kawasan hutan tadi yaitu di kawasan suaka alam mencapai 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas (HPT) 454.849 hektare, hutan produksi tetap (HP) 1.484.075 hektare dan hutan produksi konversi 1.244.921 hektare.

"Lantas Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan KLHK Herban Heryandana, yang ikut menjadi pembicara pada helat itu menyebut, kalau sawit yang berada dalam kawasan hutan mencapai 3,177 juta hektare," terang Aziz.

Rinciannya, pada Hutan Konservasi (HK) 119.537 hektare, Hutan Lindung (HL) 152.932 hektare, Hutan Produksi Tetap (HP) 521.431 hektare, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1.318.001 hektare dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) 1.065.114 hektare.

Aziz mengkritisi solusi yang mencuat dalam pertemuan tersebut, yaitu kalau memang KLHK sudah melakukan tata batas untuk ditetapkan menjadi kawasan hutan, enggak akan ada lagi hak-hak masyarakat di dalam kawasan itu.

"Inti dari tata batas itu adalah memisahkan antara hak masyarakat dan hak negara termasuk juga memisahkan antara hak perusahaan dan masyarakat. Tapi di sinilah masalah itu. KLHK tidak sanggup melakukan itu. Namun dalam ketidaksanggupan itu, janganlah malah mencari kambing hitam," tegas Azis




Tulis Komentar +
Berita Terkait+
ƒ