Diskursus terhadap kemungkinan masih akan terjadi atau tidaknya peperangan konvensional menjadi menarik untuk dipelajari. Dua kutub diametral semakin terbelah dengan keyakinan masing – masing yang saling bertolak belakang. Di satu sisi berpendapat bahwa perang konvensional masih akan terjadi, dan salah satu faktanya masing – masing negara terus memperbesar alokasi anggaran pertahanannya, yang membuktikan bahwa satu negara dengan negara lain memiliki kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya peperangan konvensional yang bisa terjadi kapan saja. Di sisi lain ada juga yang berpandangan bahwa perang konvensional tidak akan terjadi lagi, karena konsep penguasaan teritori sebagaimana ada dalam doktrin perang konvensional dinilai sudah tidak berarti lagi, karena penguasaan sumber daya ekonomi dinilai jauh lebih penting daripada penguasaan teritori. Inilah yang merupakan dasar pergeseran konsep model peperangan saat ini, terlebih di masa depan.
Pandangan pergeseran medan pertempuran dari penguasaan teritori menjadi penguasaan ekonomi nampaknya semakin terbukti. Tanpa harus menafikan kemungkinan terjadinya perang konvensional sebagai instrumen emergensi jika kondisi menuntut demikian. Esensi penguasaan teritori pada dasarnya juga agar mampu mengeksploitasi sumber daya yang ada di wilayah yang dikuasainya, lalu dipergunakan sebesar – besarnya untuk memenuhi kebutuhan belanja negara. Lalu bagaimana jika sumber daya ekonomi bisa dikuasai tanpa harus menguasai teritorinya ?
Coba perhatikan saat ini di banyak negara, dimana banyak sekali sumber daya ekonomi yang berada di suatu wilayah negara tetapi negara tersebut tidak mampu lagi memaksimalkan pendapatan dari sumber dayanya, karena sumber daya tersebut sudah dikontrak oleh orang lain (negara lain) untuk jangka waktu yang cukup lama. Jadi negara tersebut hanya mampu mengaku – ngaku saja bahwa wilayahnya memiliki sumber daya ini dan itu, tetapi hakikat objektif sudah tergadaikan menjadi hak milik orang lain meski dalam rentang waktu tertentu saja. Namun fakta lain juga menunjukan, bahwa jika nilai ekonomisnya tinggi maka jangka waktu kontrak tersebut bisa diperpanjang dan diperpanjang lagi. Inilah sebenarnya konsep pergeseran medan pertempuran yang sesungguhnya terjadi saat ini.
Namun demikian, sekalipun medan pertempuran mengalami pergeseran tidak berarti bahwa medan pertempuran yang sesungguhnya telah sirna. Kemungkinan itu selalu ada dengan segala sebab dan alasan yang akan menjadi pembenaran. Logika sederhananya, industri – industri persenjataan yang menjamur di berbagai negara dan setiap hari terus memproduksi produk – produknya mau dijual kemana jika semua negara dalam kondisi aman ? Bagaimana mereka mau membeli jika semua negara merasa tidak membutuhkannya lagi. Oleh karena itu untuk menjaga kontinuitas bisnis, maka keseimbangan supply dan demand harus terjadi. Supply selalu ada dan bahkan kapasitas produksinya terus ditingkatkan. Lalu apa yang terjadi jika demand-nya menurun, maka akan terjadi over supply dan harga akan turun, maka industri – industri akan mengalami kerugian bahkan kolaps. Terus apa yang harus dilakukan ? Ya tentu menjaga keseimbangan sistem, bahkan bilaperlu “demand” harus dipelihara agar tetap tinggi agar harga produk tetap kompetitif dan akhirnya kelangsungan industri bisa terjaga.
Dalam analisa lain bisa saja terjadi, jika penguasaan sumber daya ekonomi di suatu teritori orang lain sulit untuk dikuasai, maka kemungkinan akan membangun sebuah “momentum” untuk mendesain aliansi sebagai sebuah “alasan” terjadinya transisi dan transformasi penguasaan sumber daya ekonomi dengan dibuat oleh selembar legalitas bernama “kontrak”. Jika ini yang terjadi maka medan pertempuran akan terjadi di lembaga legislasi agar menghasilkan produk – produk hukum yang menguntungkannya. Tentu harus juga disiapkan “pasukan terlatih” yang memiliki keterampilan luar biasa dalam mengamankan kepentingannya melalui instrumen hukum, sehingga semua penguasaan sumber daya ekonomi nampak begitu cantik, legal dan sah secara hukum jikalau akan digugat ke mahkamah internasional sekalipun.
Begitupun dalam perspektif investasi, analisis Benefit Cost Ratio, Net Present Value, Break Event Point ataupun Internal Rate of Return tidak bisa serta merta digunakan jika orientasi bisnisnya untuk masa depan yang lebih luas. Kalkulasi bisnis harus disertai kalkulasi langkah – langkah strategis yang dijabarkan dalam roadmap jangka menengah dan jangka panjang. Jika ini yang terjadi, maka medan pertempuran akan bergeser pada analisa – analisa strategis, namun tetap harus berdasarkan fakta objektif yang dilengkapi dengan dokumen – dokumen pendukungnya, maka intelijen strategis akan mendominasi analisa – analisa strategis tersebut. Itulah sebabnya spionase malahirkan kontra spionase, intelijen pun melahirkan kontra intelijen, penggalangan massa melahirkan pemecah massa, dan seterusnya. Itulah sebabnya jangan heran, jika operasi intelijen di dunia saat ini sudah menyisir di sentra – sentra pertahanan strategis, baik jantung – jantung pertahanan pangan, pertahanan energi, pertahanan ekonomi, dan lain – lain. Jadi kajian pertahanan dan ketahanan saat ini semakin kompleks dan dinamis, maka perlu dibentuknya tim dengan multi disiplin ilmu yang terpadu agar menghasilkan resultan pertahanan yang maksimal.