Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pengamat Sosial
JAKARTA- (MOMENRIAU.COM). Selesainya hari pencoblosan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden tanggal 17 April 2019 lalu, sebenarnya menumbuhkan harapan di masyarakat agar gonjang ganjing dukungan kepada masing – masing pilihannya bisa selesai. Banyak group wa di masing – masing handphone menjadi panas, satu sama lain mengunggulkan pilihannya. Kalau sekedar mengunggulkan pilihannya mungkin tidak menjadi masalah, jika tidak disertai dengan saling menjelekan calon yang bukan pilihannya. Akhirnya tidak sedikit satu sama lain saling menjatuhkan, baik dengan informasi yang benar ataupun informasi yang penuh kebohongan. Bahkan saat berbicarapun tidak sedikit yang menggunakan data yang bohong, sehingga masyarakat dibuat bingung dan pusing.
Saat ini masyarakat merasa kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang bohong. Setelah hari pencoblosan selesai, ternyata kebingungan masyarakat malah semakin menjadi – jadi. Sesuatu yang idealnya harus selesai, tinggal menunggu pengumuman resmi KPU ternyata malah menyisakan persoalan lain. Pihak – pihak yang sebenarnya tidak berhak mengumumkan hasil pemilu, hampir semua justru berlomba ingin saling mendahului menyampaikan pengumuman. Padahal pengumuman yang satu dengan yang lainnya saling bertolak belakang, dan satu sama lain merasa paling benar datanya. Bagi masyarakat umum tentu menambah bingung. Psikologi kebatinan masyarakat benar – benar diaduk-aduk dan dipermainkan.
Secara kejiwaan tentu sangat tidak menyehatkan, bahkan cenderung membangun rasa saling tidak percaya. Kutub – kutub pertentangan semakin menjadi – jadi, dan langsung atau tidak langsung kondisi ini hanya akan memperburuk situasi serta memprovokasi ketegangan. Quick Count yang sejatinya suatu metode ilmiah yang bisa diterapkan untuk memprediksi berdasarkan data – data yang akurat dan bisa diterima masyarakat, malah dianggap guyonan yang mempermainkan angka sesuai kepentingan.
Sementara itu, real count yang sejatinya data faktual berdasarkan data – data riil, menjadi bias karena real count menurut pihak satu berbeda dengan real count pihak yang lain. Akhirnya timbulah berbagai saling curiga, saling tidak percaya dan cenderung saling menuduh satu sama lain dianggap berlaku curang alias tidak jujur.
KPU sebagai penyelenggara pemilu yang ditunjuk oleh negara pun terkena serangan opini yang dianggap meragukan netralitasnya. Padahal jika KPU tidak dipercaya lagi, lalu perhitungan pemilu harus mempercayai siapa ? Sekali lagi rakyat tambah bingung, mana informasi yang benar. Dalam situasi seperti ini, seharusnya semua pihak bisa menahan diri dan bersabar, serta tidak ada satu pihak manapun yang menyebar kebohongan ataupun kecurangan. Siapapun yang menyebarkan kebohongan ataupun melakukan kecurangan, maka pada dasarnya ia sedang memprovokasi masyarakat. Jika karena provokasinya sampai timbul gesekan di masyarakat, maka ia harus bertanggung jawab atas setiap tetes darah yang keluar. Ia juga harus bertanggung jawab bila ada nyawa yang melayang. Ingat bahwa akar rumput itu bagai ilalang kering, dimana saat ada pemantik api yang menyala maka kebakaran takkan bisa lagi terhindarkan.
Di dunia ini semua bisa saling menyanggah dan tidak mengakui kesalahan, tapi mereka lupa bahwa selain dunia ada pertanggungjawaban yang lebih hakiki yaitu pertanggungjawaban dihadapan Tuhan yang pasti tidak bisa dibohongi dan tidak bisa dibeli. Keuasaan dan kedudukan itu adalah amanah, maka dapatkanlah amanah itu dengan benar dan jujur. Jika amanah dan kekuasaan diperoleh dengan tidak jujur, maka hampir bisa dipastikan bahwa ia tidak akan mampu menunaikan amanahnya dengan benar.
Saat kursi dibeli dengan uang dan kecurangan, maka ia berbuat curang dan mencuri uang negara untuk mempertahankan kekuasaannya. Ingatlah bahwa amanah bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan, tetapi sesuatu yang pasti akan diminta pertanggungjawabannya. Ajaran agama yang paling berat adalah AMANAH. Oleh karena itu, siapapun yang suka sekali memproduksi informasi - informasi yang bohong (hoax) diharapkan bisa menghentikan segera perbuatannya.
Siapapun yang melakukan kecurangan, berhentilah karena pertanggungjawaban atas perbuatannya itu sangat berat. Jika dengan kewenangan yang dimiliki digunakan untuk bermain curang, maka percayalah bahwa kedudukan itulah yang akan menjadi beban di yaumul akhir nanti. Jika mampu menghentikan berita bohong (hoax) dan kecurangan, itu artinya kita sedang membangun fondasi gedung yang bisa menaungi kedamaian, kebenaran dan kejujuran. Siapapun yag terpilih menjadi pemimpin yang terpilih dengan jujur, maka ia adalah pemimpin keadilan, pemimpin kejujuran dan pemimpin yang penuh ketauladanan. Semoga Indonesia memiliki pemimpin ideal seperti yang diharapkan. (nzr)