Mantap Petani Sawit Rakyat Patungan Bangun Pabrik Minyak Goreng

Rabu, 10 Juli 2019 - 14:43:43 WIB

Documen

ROKANHILIR- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) tengah membangun setidaknya 3 pabrik minyak goreng (migor) mini dengan kapasitas produksi 400-600 kilogram (kg) per hari. Ketiganya diharapkan beroperasi pada akhir tahun ini.Rabu (10/7)

Ketiga pabrik minyak goreng berbasis petani swadaya/rakyat tersebut terletak di Rokan Hilir, Riau dengan kapasitas 600 kg minyak goreng per hari, Tanjung Jabung Barat, Jambi dengan kapasitas 500 kg per hari, dan Kalimantan Utara berkapasitas 400 kg per hari. 

Masing-masing pabrik ini dibangun dengan nilai investasi sekitar Rp 3 miliar dengan sumber dana yang dihimpun dari koperasi-koperasi petani sawit rakyat di bawah Apkasindo. Nilai investasi ini jauh lebih murah dibandingkan rata-rata investasi perusahaan sawit besar yang umumnya berkisar Rp 110-160 miliar per pabrik. 

"Ya saya pikir kuartal IV [mulai beroperasi] karena kemarin mereka masih ada yang belum pas. Yang pasti tiga ini dulu kita arahkan. Teknologi sebetulnya nggak susah, tapi kalau beli yang sudah jadi mahal. Makanya kita rakit, ambil material dari Surabaya, Medan dan lainnya," kata Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung, Selasa (9/7/2019). 

Nantinya, minyak goreng tersebut akan dikemas dan dipasarkan dengan merek Apkasindo dengan harga yang jauh di bawah harga minyak goreng kemasan milik perusahaan sawit besar. Dia pun optimistis pasar untuk minyak goreng skala industri kecil dan menengah (IKM) ini akan tercipta. 

"Untuk kota Pekanbaru saja kebutuhannya minyak gorengnya untuk satu hari itu 37 ton," imbuhnya. 

Gulat melanjutkan, pembangunan pabrik minyak goreng mini akan terus digencarkan dengan harapan produksi tahun depan dapat mencapai 5 ton minyak goreng per hari. 

Pihaknya menargetkan daerah sentra produksi sawit yang masih minim pabrik kelapa sawit (PKS) seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan. Dengan adanya pabrik mini, maka serapan TBS di daerah tersebut akan semakin tinggi. 

"Di seluruh Kalimantan saja butuh setidaknya 100 PKS tapi saat ini baru ada 42 pabrik," ujar dia. 

Pembangunan pabrik minyak goreng ini merupakan bagian dari upaya hilirisasi yang digalakkan oleh Apkasindo dengan harapan bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengangkat harga TBS petani rakyat dan mengurangi ketergantungan terhadap pabrik-pabrik milik perusahaan yang lebih condong menyerap hasil panen dari petani plasma (mitra perusahaan). 

"Jadi ini adalah bentuk diversifikasi minyak sawit agar pelaku usaha tidak hanya menjual CPO saja. Dengan cara ini, petani nggak menjual TBS, mereka olah sendiri dan harganya akan jadi tinggi setelah jadi minyak makan," katanya. 

Harga TBS Sulit Naik

Kebijakan pengenaan pungutan senilai US$ 0 per ton terhadap ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya saat ini dinilai tidak berpengaruh banyak terhadap perbaikan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Adanya ekspor diperlonggar harapannya stok di dalam negeri terbatas dan ada hilirisasi, sehingga akan menaikkan harga, tapi yang terjadi belum ada dampak.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengungkapkan, harga TBS terus turun dari kisaran Rp 2.100/kg di pertengahan tahun lalu hingga hari ini. Saat ini, harga TBS petani rakyat berkisar antara Rp 1.272-1.280/kg. 

"Saat pemerintah memutuskan me-nol-kan pungutan ekspor di November 2018, harganya sempat naik sedikit dan turun lagi sampai sekarang. Artinya, tidak ada pengaruh," ujar Gulat usai pengukuhan DPP Apkasindo, Selasa (9/7/2019). 

Menurutnya, tujuan dari pengenaan pungutan ekspor sebenarnya untuk mendorong pengusaha kelapa sawit agar tidak hanya berbisnis di sektor hulu CPO, namun juga mengembangkan industri hilir yang bernilai tambah lebih tinggi. 

"Kalau di hilir potongannya rendah, hanya sekitar US$ 5-10 per ton. Itu cara pemerintah berkreasi, tapi faktanya bagi pengusaha lebih enak, cepat dan aman bermain di hulu," imbuhnya. 

Sebagai informasi, pungutan ekspor sebesar US$ 50 per ton untuk CPO akan kembali dikenakan apabila harga referensi CPO menyentuh US$ 570 per ton. 
Adapun Kementerian Perdagangan telah merilis harga referensi CPO untuk periode Juli 2019 seharga US$ 542,45 per ton, melemah senilai US$ 4,72 atau 0,86 persen dari bulan sebelumnya. 

Dengan meningkatnya hilirisasi industri sawit di Tanah Air, Gulat optimis harga TBS petani akan terdongkrak lebih tinggi karena penyerapan yang lebih besar di dalam negeri. 

Alhasil, nasib jutaan petani sawit di Indonesia tak akan terdampak oleh sentimen-sentimen negatif di negara tujuan ekspor seperti kampanye hitam di Uni Eropa. 

"Petani harus sadar bahwa isu pungutan ekspor ini tidak ada hubungannya dengan Eropa, tapi ada masalah dalam tata niaga sawit kita, seperti harga jual TBS petani swadaya yang 30% lebih rendah dari petani plasma [yang bermitra dengan perusahaan sawit]," jelasnya.(Ndri)

Sumber :CNBC Indonesia