JOGYAKARTA-Pemerintah seolah tak mematuhi Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7P/HUM/2020 yang membatalkan Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) No.75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS. Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Perpres No. 64 Tahun 2020 yang bakal kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinilai melanggar amanat putusan MA.Sabtu (16/05)
“Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Prepres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan secara tidak langsung merupakan perbuatan melawan hukum".Perpres tersebut kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan Kelas II per 1 Juli 2020. Sementara iuran untuk kelas III akan dinaikkan pada tahun 2021. Menurutnya Azuan Helmi, menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan tidak sejalan dengan Putusan MA yang telah membatalkan Perpres No. 75 Tahun 2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Pemerhati Hukum Tata Negara asal Provinsi Riau, Azuan Helmi menyebutkan bahwa langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan berpotensi melanggar konstitusi.
Menurut Azuan, sebagai penyelenggara negara, Presiden Jokowi seharusnya patuh pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 dan tidak kembali menaikkan iuran. "Sebagai penyelenggara negara, presiden tidak boleh mengabaikan putusan Mahkamah Agung," kata Azuan kepada wartawan Jumat (15/5/2020). "Harusnya presiden taat dan tidak memaksakan keadaan," tuturnya.
Azuan menilai bahwa dengan menaikkan iuran BPJS melalui penerbitan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 Presiden Jokowi abai terhadap hukum atau "disobedience of law".Pasalnya, upaya Jokowi menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan pernah dibatalkan oleh MA.
Pada Februari 2020, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Putusan Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Oleh karenanya, dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi tentang kenaikan iuran BPJS, Presiden Jokowi dianggap menentang putusan peradilan. "Jika itu disengaja Presiden bisa berbahaya karena itu dapat menjadi alasan sebagai pelanggaran konstitusi," ujar Azuan.
Azuan menyebut bahwa putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada Presiden. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat."Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," jelas Azuan.
Azuan menjelaskan bahwa putusan MA pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan. Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan.
Dia khawatir Perpres 64/2020 bakal ditentang masyarakat. Bahkan, masyarakat berpotensi menggugat kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke MA. Berkaca pada uji materi Perpres 75/2019, potensi masyarakat menang amat tinggi. Karena itu, seharusnya hal ini menjadi pertimbangan pemerintah sebelum “melawan” MA melalui Perpres 64/2020.
“Kan jadi sangat repot sekali urusannya, dinaikkan lalu digugat. Gugatan menang, ganti Perpres dan naikkan lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti Perpres, iuran dinaikkan lagi, apa mau gitu-gitu terus kita ini” kata Azuan yang konsen mengkritisi kebijakan Pemerintah.
Kita sama-sama tau, bahwa saat ini adalah sangat sulit bagi keuangan Negara, dan berat untuk hitung-hitungannya. Tapi masak tidak ada cara lain selain mengotak-atik BPJS terus. Kasian masyatakat selalu saja jadi korban kebijakan politik, tutup Azuan.(Ndri/rilies)